Artikel Jakarta

Sejarah Jakarta



Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.

Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.
  • Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
  • 22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
  • 4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia.
  • 1 April 1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.
  • 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
  • 8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
  • September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
  • 20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
  • 24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta.
  • 18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja Djakarta Raya.
  • Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
  • 31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
  • Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administrative kepulauan seribu)
  • Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700)
Sumber : www.jakarta.go.id

Budaya Jakarta (Tari Cokek)

 

Tari Betawi yang sepenuhnya merupakan aneka gerak pencak silat disebut tari silat. Tari ini ada yang diiringi tabuhan khusus yang disebut gendang pencak. Iringan lainnya yang juga bisa digunakan ialah garnbang kromong, gamelan topeng dan lain-lain. Di kalangan masyarakat Betawi terdapat berbagai aliran silat seperti aliran Kwitang, aliran Tanah Abang, aliran Kemayoran dan sebagainya. Gaya-gaya tari silat yang terkenal antara lain gaya seray, gaya pecut, gaya rompas dan gaya bandul. Tari silat Betawi menunjukkan aliran atau gaya yang diikuti penarinya masing-masing.
Pada gamelan ajeng, di samping ada pengaruh Sunda juga tampak adanya unsur Bali seperti pada salah satu lagu yang biasa diiringinya yang disebut lagu Carabelan atau Cara Bali. Pada awainya garnelan ini bersifat mandiri sebagai musik upacara saja. Dalarn perkembangan kemudian biasa digunakan untuk mengiringi tarian yang disebut Belenggo Ajeng atau Tar! Topeng Gong. Orkes ini juga berfungsi sebagai pengiring wayang kulit atau wayang wong yaitu salah satu unsur kesenian Jawa yang diadaptasi oleh masyarakat Betawi terutama di pinggiran Jakarta.

Musik Betawi lainnya yang banyak menyerap pengaruh Sunda adalah gamelan topeng. Disebut dernikian karena gamelan tersebut digunakan untuk mengiringi pagelaran teater rakyat yang kini dikenal dengan sebutan topeng Betaw Popularitas topeng Betawi bagi masyarakat pendukungnya adalah kemampuannya untuk menyampaikan kritik social yang tidak terasa mengpenggeli hati. Salah satu contohnya adalah lakon pendek Bapak jantuk, tampil pada bagian akhir pertunjukan yang sarat dengan nasehat- nasehat bagi ketenteraman berumah tangga. Di antara tarian-tarian yang biasa disajikan topeng Betawi adalah Tari Lipetgandes, sebuah tari yang dijalin dengan nyanyian, lawakan dan kadang-kadang dengan sindiran-sindiran tajam menggigit tetapi lucu. Tari- tari lainnya cukup banyak memiliki ragam gerak yang ekspresif dan dinamis, seperti Tari Topeng Kedok,

Enjot-enjotan dan Gegot. Tari-tarian tersebut bukan saja digemari oleh para pendukung aslinya, tetapi juga telah banyak mendapat tempat di hati masyarakat yang lebih luas, termasuk kelompok etnis lain.

Beberapa penata tari kreatif telah berhasil menggubah beberapa tari kreasi baru dengan mengacu pada ragam gerak berbagai tari tradisi Betawi, terutama rumpun Tari Topeng. Tari kreasi baru itu antara lain adalah Tari Ngarojeng, Tari Ronggeng Belantek, Gado-gado Jakarta. Karya tari ini ternyata mampu memukau penonton, bahkan juga sampai pada Forum Internasional yaitu dalam Festival Tari Antar Bangsa.. Berbagai seni pertunjukan tradisional Betawi telah berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan masyarakat pendukungnya serta merupakan daya pesona tersendiri pada wajah kota Jakarta Untuk dapat menilkmati dan menilainya tiada cara lain yang lebih tepat kecuali menyaksikannya sendiri.

Sumber: www.kotatua.blogspot.com

Pucung Gabus Kuliner Khas Betawi

 
JAKARTA  banyak menyimpan potensi wisata kuliner yang kurang digali. Mungkin ratusan atau ribuan rahasia kuliner Betawi yang masih tersimpan di benak warga Betawi yang sudah renta. Biasanya rahasia ini diteruskan turun termurun dari generasi sebelumnya, seperti masakan Pucung Gabus. Bahkan orangtua Betawi bilang, “Jangan ngaku anak Betawi kalo belum nyobain sayur pucung gabus”.
Setiap daerah pasti punya ciri khusus dalam budaya kuliner mereka. Misalnya saja Surabaya yang terkenal dengan rujak cingurnya. Tak mau kalah, Yogyakarta punya sayur gudek, Sunda tetap eksis dengan lalapannya, begitu juga dengan Madura yang termasyur dengan kelezatan satenya. Setiap daerah selalu membanggakan makanan kas dari daerah masing-masing tak terkecuali orang Betawi yang menjadi masyarakat asli kota Jakarta.
Banyak makanan kas Betawi, bahkan jika mau menghitungnya, jumlahnya tak kalah dengan makanan kas daerah lain. Sebut saja nasi kebuli, sayur babanci, nasi uduk Betawi, dan masih banyak lagi. Ada masakan legenda yang menjadi ikon utama warga Betawi tempo dulu, yakni sayur pucung gabus.
“Kalo kaga kenal ma sayur pucung gabus, jangan berani ngaku jadi anak Betawi dah. Ni masakan sayur ikan yang paling enak di dunia,” puji H Saad, tokoh masyarakat Betawi Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur terhadap masakan yang mulai jarang ditemui tersebut. Beruntung H Saad memiliki istri yang menyimpan resep kuno nenek moyangnya. Makanya begitu kangen dengan masakan tersebut, ia tak sungkan meminta istri untuk membuatnya.
Sayur pucung gabus sendiri berupa sayuran yang terdiri dari ikan gabus dan disajikan dalam potongan kecil layaknya sayur ikan pada umumnya. Apa yang membedakan? pucung gabus dicampur bersama kuah rawon. Masyarakat Betawi dulu lebih nikmat jika melahapnya langsung tanpa sendok atau garpu. Dengan begitu, kelezatan akan lebih terasa.
Membuat sayur pucung gabus memang sedikit ribet karena banyak bumbu yang digunakan. Rempah yang digunakan antara lain, bawang merah, bawang putih, kemiri, cabe merah, jahe, kunyit, dan daun salam. Bumbu-bumbu tersebut kemudian diulek dan ditumis sampai harum, kemudian dimasukkan ke dalam air hingga menjadi kuah pucung.
Untuk membuat sayur tampak lebih hitam dan pekat, terlebih dulu biji kluwek atau pucung dihancurkan dan diambil isinya. Kemudian biji kluwek tersebut dicampur dengan bumbu masak yang telah ditumis. Kemudian dimasukkan ke dalam air dan direbus sampai mendidih dan menjadi kuah pucung. “Itu baru bikin kuahnya doang, belum ngerajang ikannya,” kata H Sumiati pembuat pucung gabus yang bermukim di Cakung.
Sementara itu potongan ikan gabus yang telah digoreng, lanjut Sumiati, kemudian dimasukkan ke dalam kuah pucung. Campuran ikan gabus bersama kuah pucung lalu dipanaskan hingga mendidih. “Untuk mempertahankan keharumannya, biasanya diberikan daun salam utuh ke sayuran yang sedang direbus,” beber H Sumiati.
Rasa pucung gabus memang terbilang unik. Perpaduan bumbu dapur membuat rasa masakan ini begitu terasa. Rasa yang gurih, sedikit asin dan pedas, menjadi ciri kas sayur ini sehingga sulit dilupakan oleh siapa pun yang memakannya. Aroma wangi yang keluar dari kuah pucung pun terasa menggugah kita untuk segera menyantapnya.
Sayur ikan gabus pucung sebagai masakan khas Betawi relatif sulit ditemukan. Hal itu dikarenakan sulitnya mencari ikan gabus di Jakarta saat ini. Seperti yang dilakukan Sumiati, sehingga membuatnya pernah mencoba ikan lain dalam masakan ini. “Gagal, daging ikan hancur dan rasanya nggak seenak ikan gabus,” kata wanita yang mengaku belajar memasak pucung gabus dari ibunya ini.
Menurut Sumiati pucung gabus akan lebih nikmat jika dimakan bersama lalapan seperti, pete, mentimun, kacang panjang, dan daun kangkung. Bagi penggemar pedas, sayur pucung gabus juga tak kalah mantepnya jika dihidangkan dengan sambal terasi atau sambal goreng. Tapi sayang untuk dapat menikmati sayur pucung gabus ini kita tak bisa merasakannya dengan mudah.
Ada beberapa penjual sayur pucung gabus di daerah pinggiran Jakarta Timur atau di Bekasi. Karena untuk mencari sayur ini di Jakarta sudah sulit sekali. “Orang Jakarta sendiri kalau nyari pucung gabus aja ke Bekasi,” kata H Sumiati yang bekerja pada RM Khas Betawi, Harapan Indah, Bekasi.

Sumber: www.poskota.co.id

Masjid Tua Jakarta (Masjid Angke Al-Anwar)

Ketika bahu membahu membantu pasukan Pangeran Fatahillah menggempur VOC di Pelabuhan Sunda Kelapa, sama halnya dengan orang-orang Mataram sebelumnya, orang-orang dari Kasultanan Banten pun memilih menetap di Batavia. Salah seorang yang tidak bisa lepas dari peristiwa itu, adalah nama Tubagus Angke, seorang bangsawan Banten bergelar pangeran yang kemudian wafat di Batavia. Dan keberadaan masjid yang dahulu disebut Masjid Angke saja ini tak terlepas dari keberadaan Tubagus Angke.
Walaupun berukuran kecil –15×15 m2 berdiri di atas lahan 200 m2–, tapi masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) No.238 tahun 1931, juga diperkuat oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972. Bangunannya cukup menarik karena memperlihatkan perpaduan dari berbagai gaya arsitektur. Ada gaya Banten kuno dan Cina, juga pengaruh Hindu.
Atapnya berbentuk cungkup bersusun dua model arsitektur khas Cina, dengan ujung cungkup (nok) berbentuk kuncup melati, tertempel bekas horn sirine kecil. Bentuk jurai/sopi-sopi di masing-masing atapnya membengkok di bagian ujung bawah. Dan di keempat ujung jurainya, bercuping seperti bunga terompet. Bentuk list-plang kayunya bermotif ombak dengan bonggol kuncup melati terbalik di setiap sudutnya. Sedang model kusen pintu berdaun dua, seperti lumpang terbalik bermotif ukir-ukiran di bagian bawah dan atas pintu.
Di halaman belakang masjid ini terdapat beberapa makam. Di antaranya adalah makam dengan nisan bertuliskan Syeikh Ja’far, akan tetapi tidak diketahui asal-usulnya. Di sebelahnya terletak juga 3 buah cungkup dengan nisan bertuliskan huruf Cina. Tapi ada satu makam yang cukup jelas menunjukkan tentang sosok seorang yang dikuburkan di situ. Makam itu milik almarhum Syeikh Syarif Hamid Al Qadri (di timur masjid), yang dikenal sebagai pangeran dari Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat. Tahun 1800-an, ia ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia, hingga kemudian wafat di Batavia. Tertulis pada nisannya, “meninggal dalam usia 64 tahun 35 hari pada tahun 1274 H atau 1854 M”.
Seorang ahli sejarah berkebangsaan Belanda yang mengadakan penelitian tentang masjid ini, DR. F. Dehaan, dalam bukunya “Oud Batavia” menuliskan bahwa Masjid Angke Al Anwar didirikan pada hari Kamis 26 Sya’ban 1174 atau 2 April 1761. Dehaan juga menulis bahwa konon masjid ini didirikan oleh seorang wanita Cina dari suku Tarta yang menikah dengan seorang pria Banten. Kisah itu didapatkan oleh Dehaan melalui cerita dari mulut ke mulut penduduk sekitar Angke ketika itu.
Seperti halnya masjid-masjid yang didirikan pada masa perjuangan, masjid ini pun dijadikan sebagai basis perjuangan masyarakat sekitar masjid setelah proklamasi kemerdekaan. Aksi perjuangan itu terutama dipelopori oleh para ulama Angke, yang mengobarkan semangat kepada para pemuda Angke. Rapat-rapat rahasia yang sering dilakukan di masjid itu tak pernah tercium oleh pihak Belanda. Sehingga dalam perkembangannya, bangunan Masjid Angke Al Anwar tidak sedikitpun tergores oleh peluru Belanda, tidak seperti Masjid Al Mansur di Sawah Lio.
Tapi sayang mungkin karena lebih mengutamakan fungsinya, penambahan-penambahan sarana di pelatarannya membuat masjid terlihat kumuh. Bagian dalam pun demikian, jauh dari kesan bersih. Banyak tukang air yang bertiduran di dalam masjid—-di luar pagar adalah hidran PAM untuk umum. Keberadaannya yang berada disekeliling pemukiman padat model MHT, menguatkan kesan seperti tersembunyi dibalik hiruk-pikuk aktivitas masyarakat sekitar.
Masjid Angke Al Anwar persisnya terletak di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid I Rt. 001 Rw. 05, Kelurahan Angke. Dari Terminal Bus Grogol ada beberapa angkutan yang bisa mengantar ke lokasi. Carilah angkutan ke arah Pluit atau Jembatan Tiga. Lalu turun di Fly-Over Jembatan Dua, Jalan DR. Latumeten. Lebih dekat lagi jika menggunakan KA Jabotabek, turun saja di Stasiun Angke.

Sumber: www.belahanjiwa.net